Lebih dari seperempat abad yang lalu,
tepatnya tahun 1972 di Stockholm, Swedia,
diselenggarakan Konferensi PBB yang bertemakan
Lingkungan Hidup. Pada kesempatan tersebut
disepakati tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan
Hidup Sedunia. Selain itu asas pengelolaan lingkungan
yang diharapkan menjadi kerangka acuan bagi setiap
negara turut dideklarasikan.
Kini 28 tahun sudah berlalu, namun pada
kenyataannya kerusakan lingkungan hidup masih
terjadi dimana-mana, termasuk di Indonesia. Yang
menonjol adalah gangguan atau kerusakan pada
berbagai ekosistem yang menyebabkan komponenkomponen
yang menyusun ekosistem, yaitu
keanekaragaman varietas (genetic, variety, atau subspecies
diversity), keanekaragaman jenis (species
diversity) juga ikut terganggu. Akibatnya, terjadilah
kepunahan varietas atau jenis hayati yang hidup di
dalam ekosistem. Pada akhirnya, baik secara langsung
ataupun tidak langsung, manusia yang sangat
tergantung pada kelestarian ekosistem tapi berlaku
kurang bijaksana terhadap lingkungannya, akan
merasakan berbagai akibatnya.
Kerusakan lingkungan, khususnya di
Indonesia, telah terjadi pada berbagai tempat dan
berbagai tipe ekosistem. Misalnya, pada ekosistem
pertanian, pesisir dan lautan. Ancaman kepunahan
satwa liar juga telah terjadi di mana-mana.
Berbagai kerusakan lingkungan di ekosistem
pertanian telah b anyak te rjadi baik pada ekos istem
pertanian sawah maupun ekosistem pe rta nian lahan
kering nonpadi. Kerusakan lingkungan di e kosistem
sawah utamanya diakibatkan oleh program Revolusi
KAWASANPERTANIAN.
Hijau (gre en revolu tion), khususn ya de ngan ad anya
introduksi va rietas padi ungg ul dari Filip ina, dan
pengg una an pupuk kimia, serta pengg unaan pes tisida
yang ta k terkendali. Revolusi Hijau mema ng telah
berjasa meningkatkan produk si padi sec ara na sional
(makro), namun progra m tersebut juga telah
menyebabkan kerusakan lingkungan y ang tidak
sedikit, seperti kepu nahan ratusan var ietas p adi lokal,
ledakan hama baru, serta pencemaran tanah dan air.
Pengaruh Revolu sihijau pada sistem sawah,
secara tidak langsung juga telah menyeb abkan
komersia lisasi pertanian lahan kering. Misalnya , akibat
desakan ekonomi pasar d i berbagai tem pat, sistem
perta nian ag roperhutanan (agrofo restry) tradisional
yang ramah lingkungan , seperti kebun campuran
(talun, Sunda) ditebangi, dibuka lalu digarap menjadi
kebun sayuran komersil. Akibatnya, sistem pertanian
agroperh utanantra disional yang tadinya biasa
ditanami aneka jenis tanaman kayu bahan bangunan,
kayu bakar dan buah-buahan, serta ditanami juga
dengan jenis ta naman semusim , seperti tanaman
pangan, sayur, bumbu masak, dan obat-obatan
tradisional, kini te ah berubah menjadi sistem pertanian
sayur monokultur komersil.kendati memberi peluang keluaran
(output)
ekonomi lebih tinggi, pengelolaan sistem pertanian
komersil sayuran pada dasarnya membutuhkan
asupan (input) yang tinggi yang bersumber dari luar
(pasar ). Keperluannya terurai seperti , benih sayur,
pupuk kimia dan oba t-obatan, sehingga petani menjadi
sangat ter gan tung pada ekonomi pasar. Akibat
perubahan ini, berbagai kerusakan lingkungan terjadi
di sentra-sen tra pertanian sayur lahan kering, seperti
pegunungan Dieng di Jawa Tengah, serta Garut,
Lembang, Majalaya, Ciwidey, dan pangalengan, di
Jawa Barat. Kerusakan itu antara lain timbulnya erosi
foto : Zaini R.
tanah dan degradasi lahan, karena lahan menjadi
terbuka. Erosi tanah dan pencucian pupuk kimia, serta
pestisida juga masuk ke badan perairan, seperti
sungai, kolam dan danau. Hal ini telah mengganggu
lingkungan perairan, seperti pendangkalan sungai,
danau, dan pencemaran perairan yang mengganggu
kehidupan ikan, udang, dan lain-lain.
Secara umum lahan yang terbuka, telah
menyebabkan punahnya fungsi-fungsi penting dari
agro-perhutanan tradisional. Misalnya, fungsi pengatur
tata air (hidroorologi), pengatur iklim mikro, penghasil
seresah dan humus, sebagai habitat satwa liar, dan
perlindungan varietas dan jenis-jenis tanaman lokal.
Maka tidaklah heran bila berbagai varietas atau jenisjenis
tanaman lokal, seperti bambu, buah-buahan,
kayu bakar, bahan bangunan, dan obat-obatan
tradisional, makin langka, karena kurang
dibudidayakan oleh para petani di lahan-lahan kering
pedesaan mereka.
Menurut taksiran, Indonesia memiliki garis
pantai sepanjang 81.000 km atau sekitar 14% garis
pantai dunia, dengan luas perairannya mencapai 5,8
juta km2 (termasuk ZEEI). Kekayaan yang dimiliki di
kawasan pesisir dan lautan adalah meliputi hutan
mangrove, terumbu karang dan ikan hias, rumput laut,
dan perikanan.
Pada akhir tahun 1980-an, luas hutan
mangrove masih tercatat mencapai 4,25 juta ha,
dengan sebaran yang terluas ditemukan di kawasan
Irian Jaya/Papua (69 %), Sumatera (16 %), dan
Kalimantan (9 %). Namun di P. Jawa, kawasan hutan
mangrove (bakau) sudah sangat terbatas, hanya
tinggal tersisa di bebarapa kawasan saja.
KAWASANPESISIRDANLAUTAN
Indonesia juga memiliki wilayah terumbu
karang terluas dengan bentangan dari barat ke timur
sepanjang kurang lebih 17.500 km. Rumput laut juga
ditemukan di banyak tempat. Rumput laut biasanya
berguna bagi berbagai kepentingan, seperti makanan
ternak serta bahan baku industri. Sedangkan
perikanan laut Indonesia, kaya akan jenis-jenis ikan
ekonomi penting, seperti tuna, cakalang, ikan karang,
pelagik kecil, dan udang.
Namun sayangnya berbagai potensi kawasan
pesisir dan lautan ini telah mendapat berbagai tekanan
berat dari tindakan manusia yang tidak bijaksana,
sehingga telah menimbulkan berbagai kerusakan
lingkungan. Bukan merupakan rahasia lagi bahwa
hutan mangrove di berbagai kawasan banyak
terganggu. Misalnya, penduduk lokal telah lama
menggunakan berbagai pohon bakau untuk kayu
bakar, bahan bangunan, tonggak-tonggak bagan,
tempat memasang jaring ikan, bahan arang dan lain
sebagainya. Hutan mangrove juga telah dibuka secara
besar-besaran untuk dijadikan daerah pemukiman,
perkebunan, bercocok tanam dan pertambakan udang.
Selain itu, pengambilan kayu-kayu mangrove berfungsi
sebagai bahan bakar pabrik minyak kelapa, pabrik
arang, dan bahan bubur kayu (pulp).
Penebangan hutan mangrove dapat
membawa dampak negatif, misalnya keanekaragaman
jenis fauna di hutan tersebut berkurang secara drastis,
sementara habitat satwa liar, seperti jenis-jenis burung
dan mamalia terganggu berat. Dampak lain adalah
hilangnya tempat bertelur dan berlindung jenis-jenis
kepiting, ikan dan udang sehingga banyak nelayan
mengeluh karena makin sedikitnya hasil tangkapan
mereka. Pengikisan pantai pun makin menjadi,
akibatnya air asin dari laut merembes ke daratan. Maka
daerah pertanian dan pemukiman jadi terganggu.
Belum lagi akibat jangka panjang dan dari segi ilmu
pengetahuan, sangatlah sukar untuk dapat dinilai
kerugian yang terjadi akibat kerusakan atau punahnya
hutan mangrove tersebut.
Gangguan lainnya pada ekosistem pesisir dan
laut adalah penggunaan bahan peledak dan racun
sianida untuk menangkap ikan serta pengambilan
terumbu karang. Hal tersebut menyebabkan berbagai
gangguan dan kerusakan terhadap jenis-jenis terumbu
karang dan ikan hias.
Gangguan terhadap perikanan laut, antara lain
terjadi karena adanya eksplotasi jenis-jenis ikan dan
udang yang melampui nilai keberlanjutannya dan
diperberat dengan makin maraknya pencurian yang
dilakukan oleh para nelayan asing, seperti Thailand,
Korea Selatan, dan Filipina. Hal ini semua telah
menyebabkan penangkan ikan secara berlebihan
(overfishing) yang mengganggu ekosistem lautan.
Untuk jangka panjang, hal ini sangat membahayakan,
karena keberlanjutan usaha perikanan nelayan dan
industri perikanan di Indonesia tidak dapat dijamin.
tajuk warta kehati 4 Juni - Juli 2000
foto : kehati
KAWASAN HUTAN
Berbagai kawasan hutan di Indonesia, seperti
hutan gambut yang tumbuh di lahan-lahan basah
gambut, yang sangat masam (pH 4.0) dan
berkandungan hara rendah, serta lahan hutan hujan
pamah Dipterocarparceae ataupun non-
Dipteroracpaceae telah banyak yang mengalami
kerusakan. Salah satu kasus yang paling menonjol
adalah pembukaan lahan gambut secara besarbesaran
-- dalam rangka Proyek Pengembangan
Lahan Gambut (PPLG) sejuta hektar di Kalimantan
Tengah pada tahun 1995 -- tanpa mempedulikan
dampaknya terhadap lingkungan hidup. Program di
lahan seluas 1.687.112 hektar tersebut diperuntukan
bagi pengembangan pertanian tanaman pangan, lahan
sawah, dan sebagai kawasan transmigrasi. Namun
gagasan tersebut pudar seiring dengan munculnya
sistem pemerintahan yang baru. Akibatnya lahanlahan
itu dibiarkan membentuk semak-semak belukar
sehingga para transmigran yang sudah lama
bermukim di sekitar tempat itu pun tidak dapat lagi
menggarap lahan tersebut, karena selain lahannya
sudah tidak subur, banyak hama tikus dan babi hutan.
Di samping itu, air di parit-parit pun berwarna gelap
kemerah-merahan serta asam, sehingga bila
dikonsumsi dapat merusak gigi (Kompas, 8 Mei 2000).
Masalah lainnya, peladangan liar oleh
penduduk pendatang, kebakaran hutan dan lahan,
pemberian konsesi hutan (HPH), pembukaan hutan
untuk transmigrasi dan perkebunan besar, serta
pencurian hasil hutan, juga telah menyebabkan
kerusakan ekosistem hutan secara besar-besaran.
Akibatnya, keanekaragam flora dan fauna hutan
menurun drastis, serta manfaat hutan bagi manusia
dapat terganggu atau hilang sama sekali. Contohnya,
hilangnya manfaat yang langsung bagi manusia,
antara lain hasil kayu, getah, sumber obat-obatan,
bahan industri, bahan kosmetik, bahan buah-buahan
dan lain-lain. Di samping itu, manfaat hutan secara
tidak langsung juga ikut hilang. Misalnya, sebagai
pengatur tata air di alam (hidroorologi), memberi
keindahan di alam, menjaga kelembaban udara,
memelihara iklim lokal, habitat satwa liar, sumber
plasma nutfah, kepentingan rekreasi, kepentingan
ilmiah, dan lain-lain.
Secara umum, adanya gangguan hutan di
mana-mana, yang paling merasakan akibatnya secara
langsung adalah penduduk yang bermukim di kawasan
atau sekitar kawasan hutan. Rusak atau hilangnya
hutan, bukan saja dapat mengakibatkan gangguan
lingkungan hayati, tapi juga secara langsung dapat
mengganggu kehidupan sosial ekonomi dan budaya
masyarakat pedesaan hutan. Mereka yang tadinya
mendapatkan bahan makanan dari jenis-jenis
tumbuhan atau satwa liar dengan secara bebas di
hutan, akan kehilangan sumber kehidupannya.
tajuk warta kehati 5
SATWA LANGKA
Dewasa ini tercatat berbagai jenis satwa liar di
Indonesia yang kondisi sangat mengkhawatirkan
karena adanya perburuan liar yang terus berlangsung
dan kerusakan atau kehilangan habitat satwa tersebut.
Misalnya, Banteng (Bos javanicus), kendati satwa ini
telah dilindungi undang-undang di Indonesia,
berdasarkan peraturan perlindungan binatang liar
1931, namun nasib kelangsungan satwa ini belum
dapat dijamin. Gangguan habitat asli Banteng, seperti
di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Pangandaran,
Jawa Barat, terus berlangsung, akibat perusakan
hutan oleh para penebang liar, serta padang
penggembalaannya yang terdesak oleh suksesi hutan,
di samping masih banyaknya perburuan liar yang tidak
bertanggung jawab.
Jenis mammalia langka lainnya, yaitu Badak
Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) mengalami
nasib yang serupa. Hal ini diakibatkan oleh maraknya
aksi pembabatan hutan, pemasangan perangkap
berat, dan pemburuan diam-diam yang terjadi di
wilayah hutan Sumatera Barat. Sehingga hal ini sangat
mengancam terhadap keselamatan satwa langka yang
telah dilindungi undang-undang itu.
Jenis-jenis burung di alam tak luput juga dari
gangguan manusia. Sebut saja misalnya Jalak Putih
Bali, jenis-jenis burung Cendrawasih dan Gelatik Jawa.
Jalak putih Bali (Leucopsar rothschildi) yang
merupakan burung endemik di Bali Barat dan telah
dilindungi undang-undang di Indonesia, nasibnya terus
terancam akibat gangguan yang cukup serius dan tak
henti dari ulah manusia, yaitu adanya perburuan liar
dan perusakan habitat sebagai tempat tinggalnya di
daerah-daerah hutan. Perburuan liar banyak dilakukan
oleh penduduk, karena jenis burung itu laku dijual
mahal di pasar-pasar burung di kota sehingga para
pemburu liar ini mendapat penghasilan yang cukup
besar dari memperdagangkan burung itu. Gangguan
populasi burung tersebut juga diperberat lagi oleh
perusakan habitat melalui penebangan kayu secara
liar yang dilakukan penduduk untuk kebutuhan kayu
bakar rumah tangganya atau untuk dijual.
Juni - Juli 2000
Banteng (Bos javanicus)
illustrasi : Dwija Putra (PALMedia)
tajuk warta kehati 6
Nasib serupa juga menimpa berbagai jenis
burung Cendrawasih di Irian Jaya (Papua) yang kini
terancam punah akibat kerusakan hutan yang
merupakan habitat burung tersebut. Penyebab lainnya
adalah perburuan liar secara besar-besaran oleh orang
yang tidak bertanggung jawab, yang menjerat burung
malang tersebut dengan menggunakan jaring di udara.
Jaring-jaring biasanya dipasang dengan diikatkan
pada ranting-ranting kayu persis pada wilayah lalu
lintas burung di udara. Sehingga ribuan ekor jenis-jenis
burung cendrawasih, kakatua hitam, kakatua putih dan
nuri dapat ditangkap dan kemudian diselundupkan ke
kota-kota untuk diperjualbelikan (Kompas, 11 April
2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar